Strategi Industri Menyembunyikan Bahan

Sebagai orang yang melek tentang kesehatan, melihat ingredients atau komposisi adalah salah satu kunci dalam memilih produk yang berkualitas. Tapi ternyata, ada banyak cara yang dilakukan oleh industri agar produk yang terlihat clean dan justru bisa penuh dengan bahan berbahaya.

Untuk memahami lebih lanjut, kami ingin mengajak kamu melihat dari sudut pandang produsen.


Ketika Kita Sendiri yang Membuat Produk

Misalnya kita membuat roti isi tuna.

Untuk rotinya, kita pakai bahan seperti tepung, mentega, telur, air, dan sebagainya. Untuk isiannya, kita pakai tuna, campuran aneka spices seperti bawang bombay, lada hitam, dan lain-lain.
Beberapa bahan dari whole food (seperti telur, tuna, bombay), dan ada juga yang dari produk olahan (seperti tepung dan mentega).

Jadi kalau dilihat, komposisinya sederhana: tepung, mentega, telur, tuna, bombay, lada hitam, dan seterusnya.

Produk ini laku keras.

Tapi sampai satu titik, kita mulai kesulitan mencari tuna fresh. Kadang gampang kalau lagi musim, tapi saat tidak musim, susah dicari dan harganya melambung tinggi. Kita kerepotan. Harga roti jadi fluktuatif, dan konsumen pun mungkin kesal.

Lalu kita cari solusi: kenapa nggak pakai tuna kalengan aja?
Mudah diperoleh, dan harganya relatif stabil.

Setelah trial, ternyata hasil akhirnya masih enak. Meskipun sedikit berbeda dari versi fresh, tapi tetap acceptable. Masalah harga tuna pun terselesaikan.


Lalu Masalah Bombay Muncul

Tiba-tiba harga bawang bombay melonjak drastis, seperti yang terjadi di tahun 2020—pernah mencapai 170 ribu/kg. Tanpa bombay, rasa tuna jadi hambar.

Tapi sebagai pengusaha yang gigih, kita tetap cari jalan.
Akhirnya kita ketemu: pakai tuna kalengan yang sudah berbumbu.
Sudah ada bombay-nya, sudah ada seasoning-nya. Kita coba masak, lalu isi ke dalam roti. Rasanya? Masih enak. Bahkan proses jadi lebih simpel:

  • Tidak perlu motong bombay
  • Tidak perlu racik isian lagi

Kita senang. Semua tampak beres… sampai mata kita tertuju pada tulisan kecil di label:


DAGING TUNA
Komposisi: Tuna (60%), minyak kedelai, gula, bawang bombay, cabai, soy lecithin, tepung terigu, perisa bombay, MSG, citric acid.


Ingredients yang Terlihat Bersih, Tapi…

Lalu kita buat label roti tuna kita. Apa yang kita tulis?

Ingredients: Tepung, mentega, telur, dan daging tuna.

Terlihat sangat clean, bukan? Padahal “daging tuna” tadi punya 10 bahan tambahan.

Dalam cerita ini, kita tidak sedang membahas benar atau salah menggunakan bahan tersebut—itu kembali ke pilihan hidup masing-masing. Tapi di sini kita bisa melihat: apa yang tertulis “daging tuna” bisa saja berisi banyak bahan lain.

Dan ini sering terjadi di industri makanan.


Kenapa Ini Bisa Terjadi?

Karena hampir tidak ada industri yang memproses semuanya dari nol.
Banyak bahan berasal dari supplier lain, demi efisiensi dan spesialisasi.

Dan di sinilah celahnya:
Tidak semua bahan dari bahan setengah jadi harus dituliskan secara lengkap di label.

Bahkan jika kita ingin jujur, tetap sulit memastikan apakah supplier kita jujur. Atau supplier dari supplier kita. Belum lagi beredarnya daging tuna palsu di pasaran.


Celah Marketing yang Luar Biasa

Dan ini bisa menjadi celah marketing gimmick yang luar biasa.

Misalnya kita ingin jual roti gluten-free. Kita beli rotinya dari supplier.
Lalu kita jual: Roti Gluten-Free Isi Daging Tuna.

Labelnya?
Ingredients: Roti gluten-free, daging tuna.

Terlihat clean dan sehat. Tapi bisa saja rotinya memakai margarin yang mengandung trans-fat, jenis lemak berbahaya yang bisa memicu berbagai penyakit—mulai dari penyakit jantung, resistensi insulin, hingga peradangan kronis.

Tapi karena gimmick “gluten-free”, produk ini bisa dilabel sebagai “Roti Sehat.”

Teknik seperti ini juga banyak digunakan di produk gluten-free lainnya.

Kita lihat contoh di atas—salah satu gluten-free cookies yang dijual di supermarket.

Sekilas, daftar bahannya terlihat pendek. Clean.
Tapi kalau dilihat lebih teliti, terdapat margarin di dalamnya.

Komposisi utamanya tertulis: “Tepung Cookies Gluten Free.”
Tapi… apa sebenarnya isi dari tepung ini?

Jawabannya: hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Lalu ada juga coklat bubuk dalam daftar bahan berikutnya.
Tapi apakah ini cacao murni, coklat bubuk kemasan, atau coklat bubuk ala mereka sendiri dengan tambahan gula, perisa, dan bahan aditif lainnya?

Kita juga tidak tahu.


Berapa banyak orang yang terjebak?
Berapa banyak nyawa yang terancam karena hal seperti ini?

Dan itu baru dari penjual yang tidak tahu atau tidak sengaja.

Bagaimana dengan industri yang sengaja mendesain semua ini?
Dalam contoh tadi, bisa saja kita menjual “daging tuna” dengan label 100% daging tuna (menggunakan daging tuna asli).
Tapi sebenarnya mengandung lebih dari 10 bahan lainnya.


Teknik Penyembunyian Bahan

Ini adalah teknik yang sering digunakan industri makanan untuk menyembunyikan bahan berbahaya agar terlihat clean.

Ada produk-produk yang sebelumnya mengandung bahan berisiko tinggi seperti yang berpotensi memicu kanker, dan sekarang tiba-tiba terlihat bersih. Tapi kalau kamu peka, kamu akan sadar:
Teksturnya tidak mungkin bisa didapat hanya dari bahan yang tertulis.

Biasanya, bahan-bahan tersebut disembunyikan di balik nama bahan setengah jadi, seperti:

  • Bumbu
  • Rempah-rempah
  • Bubuk bombay
  • Bubuk telur asin
  • Tepung
  • Keju
  • Pasta
  • dan masih banyak lagi

Tentu tidak semua bahan seperti ini mengandung sesuatu yang disembunyikan.
Tapi yang namanya penamaan, seringkali digunakan sebagai trik.
Misalnya dalam contoh daging tuna tadi—kita tidak pernah tahu secara pasti apakah yang dimaksud adalah daging tuna segar, atau sebenarnya daging tuna olahan.

Belum termasuk juga bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan, tapi tidak dianggap sebagai ingredients utama, sehingga tidak diwajibkan muncul di label.

Contohnya seperti enzim amilase yang pernah kita bahas di susu oat—digunakan dalam proses untuk mengubah struktur bahan, tapi tidak perlu dicantumkan sebagai komposisi.


Solusi Terbaik?

Kembali ke whole food.
Makanan yang bisa kamu lihat dengan jelas, dan kamu tahu asal usulnya.

Banyak orang merasa whole food itu membosankan. Tapi itu karena taste bud kita sudah rusak.
Kita terbiasa makanan tinggi gula, MSG, dan trans-fat—dan itu membuat kita tidak bisa lagi menikmati rasa alami makanan.

Satu-satunya cara untuk reset taste bud adalah dengan sugar detox.

Kalau kamu ingin mulai, kamu bisa download Panduan Makan Sehat kami.


Solusi Lain: Community Buying

Di AZ, kami juga membangun solusi lain: Community Buying.

Kami berkumpul, beli produk dalam jumlah besar, dari supplier yang bisa ditracing.
Dengan begitu, kita bisa pastikan:

  • Produknya berkualitas
  • Asal usulnya jelas
  • Dan benar-benar baik untuk kesehatan

Kamu juga bisa ikut Community Buying AZ—tempat di mana kita bareng-bareng mengambil kembali kendali atas apa yang masuk ke tubuh kita.